Oleh Ulin Nuha
Melihat Kudus sekarang, mengalami beberapa vase perkembangan yang pesat. Simbol-simbol modernitas berupa bangunan, life style, dan pola pikir masyarakat mengalami perubahan. Pasar modern seperti mall, ruko, dan swayalan modern, hari-hari ini juga mulai tumbuh. Kudus bukan lah yang dulu lagi, nampak beda Kudus pada dawarsa tahun lima puluhan silam.
Perjalanan Kudus dari waktu ke waktu, membawa arti bagi kemajuan di beberapa sektor. Tak asing lagi bagi Kudus dengan sebutan kota kretek, santri atau kota industri. Jargon-jargon sosial sarat makna itu perlu direaktualisasi dan perlu mendapat perhatian kita bersama. Mengapa demikian?
Perkembangan zaman mengakibatkan sekat-sekat sosial mulai memudar. Diyakini atau tidak, gejala globalisasi dan integritas sosial tak dapat dihindari. Warna sebuah identitas mulai tenggelam dalam keberagaman. Identitas yang dimaksud bukan lah berbau SARA atau pun ideologi yang kadang menimbulkan perpecahan kelompok. Identitas dimaksud adalah khazanah budaya Kudus dan kekayaan kearifan lokal kota ini.
Semisal Kudus dengan potensi industrinya. Keberadaan Kudus akan potensi industrinya, menarik pendatang baru turut mengais rezeki. Sehingga terjadi simpul-simpul sosial yang kian plural. Industri skala besar (korporasi) maupun kecil (berbasis kerakyatan), menjadikan SDM kota ini dikenal ulet dan kerja keras. Rupanya, fisolosofi hidup masyarakat Kudus yakni ‘jigang’ (ngaji dan dagang) itu, menunjukkan kemandirian dalam bekerja. Dalam skala luas wilayah, Kudus bisa dikata kota terkecil di provinsi Jawa Tengah, bukan berarti kecil pula gaungnya.
Aset lain yang perlu dikembangkan di Kudus itu banyak jenisnya. Peninggalan-peninggalan sejarah bangsa Belanda di Kudus masih ada yan berserakan. Seperti bangunan, batu nisan, sampai pusaka-pusaka yang memiliki nilai sacral dan histori tinggi. Peninggalan bersejarah tersebut bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Tapi, ada esensi lain yang bisa menjadi bahan pelajaran di masa sekarang ini. Kekayaan lokal itu perlu dijaga bersama, agar tak dimakan waktu dan cerita sejarahnya tak usang ditelan zaman.
Ragam peninggalan sejarah yang tetap berdiri, seperti menara Kudus, candi, gapura yang sebuah kebanggaan tersendiri. Menara Kudus sebagai landmark kota ini, terkenal di penjuru nusantara bahkan dunia, sebuah aset mahal harganya. Berkunjung ke Kudus, belum lengkap tanpa melihat bangunan produk asimilasi antara Islamis-hindu serta Jawaisme itu.
Kudus bagian utara juga menawarkan wisata religius dan eksotisme alam. Di pegunungan Muria ini, wisatawan domestik maupun asing dimanjakan nuansa alam yang sejuk nan asri. Di dataran tinggi ini tampak panorama hijau royo-royo sejauh mata menerawang, sebab disana banyak terdapat pepohonan jati dan tanaman kopi. Disela-sela menghilangkan penat, pengunjung bisa mencicipi makan tradisional cita rasa khas daerah Colo.
Bagi yang bermaksud berziarah ke makam Sunan Muria, perlu mendaki tangga-tangga yang berkelok-kelok. Sambil menuju ke tempat tujuan, wisatawan akan masuk lorong-lorong sentra penjualan pernak-pernik, pakaian produk lokal (man-made) hingga aneka buah-buahan sekalipun. Seperti jeruk Pamelo,
bisa diperoleh lumayan murah, tergantung jurus apa pembeli menawarnya.
Wisata historis
Memang. Kudus boleh berbangga dengan dua potensi wisata religius dan ekologis tersebut. Tapi, sebetulnya masih banyak wisata budaya lain yang masih tersimpan apik dan potensial mendatangkan income bagi daerah. Sepertihalnya wisata historis terhadap peninggalan yakni Sumur Tulak, Masjid Bubar, Omah Kapal dll
Sebut saja keberadaan Sumur Tulak. Bangunan yang terletak sekitar 1 km utara makam Sunan Kudus itu tampak sunyi di tengah keramaian jalan. Peninggalan punggawa Sunan Kudus ini, punya segudang cerita tentang perkembangan Islam Kudus. Konon, sumur ini bekas petilasan Syaikh Abdurrohman, yang tak lain murid Sunan Kudus.
Dikenal Sumur Tulak karena akronim dari tombo ngelak (obat haus). Sejarah singkatnya, air sumur ini pernah menjadi obat dahaga pasukan Majapahit. Saat itu pasukan Majapahit bermaksud menyerang kota Kudus, tapi malah menyerah sebelum berperang.
Sebelumnya, penduduk Kudus dan sekitar banyak memeluk agama Hindu. Mengamati perkembangan Islam di kudus sangat cepat dan berjalan damai. Bermula trans-religi itulah, membuat geram raja Brawijaya mengerahkan bala tentara guna menyerang Kudus.
Wisata historis lain bisa ditemukan di Benda Cagar Budaya (BCB) Masjid Bubar atau orang mengenalnya Bubrah. Bangunan historis ini tampak kurang terawat dan sebagian ada yang rusak. Bangunan yang tersusun batu-bata juga ada yang rumpang. BCB ini termasuk 68 yang tak bergerak yang telah mendapat surat keputusa dari Balai Pelestari Purbaka, dengan SK No 988/02.SP/BP3/P.IX/2006 (SM, 3/2/07).
Sebelum diberi atap berupa Joglo, BCB bebas menghirup udara dan tertanggang panas terik matahari. Pada tahun 2005, pengelolaan BCB ini mulai dilakukan dengan memberikan atap terbuat kayu jati. Kini, status kepemilikan BCB ini menjadi hak Pemkab Kudus.
Ada beberapa artefak peninggalan Hindu Budha yang masih utuh di luar ruangan masjid. Sepertihalnya benda Lingga (simbol kesuburan laki-laki), Yoni (simbol kewanitaan), Lumpang (alat pembuat jamu) dan lain sebagainya. Konon, bangunan yang didirikan pada abad ke XV tak berjauhan dengan bangunan Menara Kudus, tepatnya di desa Tepasan (PEKA, 2007).
Keberadaan benda bersejarah ini menjadi cermin bahwa potensi wisata historis di Kudus cukup kaya. Disisi lain, sebagai media pembelajaran dan bahan penelitian tentang kebudayaan ataupun tentang peradaban Hindu-Budha.
Ulin Nuha,
Redaktur Majalah Pena Kampus UMK
Selasa, 12 Agustus 2008
Langganan:
Postingan (Atom)