Selasa, 12 Agustus 2008

Wisata Historis di Kudus

Oleh Ulin Nuha

Melihat Kudus sekarang, mengalami beberapa vase perkembangan yang pesat. Simbol-simbol modernitas berupa bangunan, life style, dan pola pikir masyarakat mengalami perubahan. Pasar modern seperti mall, ruko, dan swayalan modern, hari-hari ini juga mulai tumbuh. Kudus bukan lah yang dulu lagi, nampak beda Kudus pada dawarsa tahun lima puluhan silam.
Perjalanan Kudus dari waktu ke waktu, membawa arti bagi kemajuan di beberapa sektor. Tak asing lagi bagi Kudus dengan sebutan kota kretek, santri atau kota industri. Jargon-jargon sosial sarat makna itu perlu direaktualisasi dan perlu mendapat perhatian kita bersama. Mengapa demikian?
Perkembangan zaman mengakibatkan sekat-sekat sosial mulai memudar. Diyakini atau tidak, gejala globalisasi dan integritas sosial tak dapat dihindari. Warna sebuah identitas mulai tenggelam dalam keberagaman. Identitas yang dimaksud bukan lah berbau SARA atau pun ideologi yang kadang menimbulkan perpecahan kelompok. Identitas dimaksud adalah khazanah budaya Kudus dan kekayaan kearifan lokal kota ini.
Semisal Kudus dengan potensi industrinya. Keberadaan Kudus akan potensi industrinya, menarik pendatang baru turut mengais rezeki. Sehingga terjadi simpul-simpul sosial yang kian plural. Industri skala besar (korporasi) maupun kecil (berbasis kerakyatan), menjadikan SDM kota ini dikenal ulet dan kerja keras. Rupanya, fisolosofi hidup masyarakat Kudus yakni ‘jigang’ (ngaji dan dagang) itu, menunjukkan kemandirian dalam bekerja. Dalam skala luas wilayah, Kudus bisa dikata kota terkecil di provinsi Jawa Tengah, bukan berarti kecil pula gaungnya.
Aset lain yang perlu dikembangkan di Kudus itu banyak jenisnya. Peninggalan-peninggalan sejarah bangsa Belanda di Kudus masih ada yan berserakan. Seperti bangunan, batu nisan, sampai pusaka-pusaka yang memiliki nilai sacral dan histori tinggi. Peninggalan bersejarah tersebut bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri. Tapi, ada esensi lain yang bisa menjadi bahan pelajaran di masa sekarang ini. Kekayaan lokal itu perlu dijaga bersama, agar tak dimakan waktu dan cerita sejarahnya tak usang ditelan zaman.
Ragam peninggalan sejarah yang tetap berdiri, seperti menara Kudus, candi, gapura yang sebuah kebanggaan tersendiri. Menara Kudus sebagai landmark kota ini, terkenal di penjuru nusantara bahkan dunia, sebuah aset mahal harganya. Berkunjung ke Kudus, belum lengkap tanpa melihat bangunan produk asimilasi antara Islamis-hindu serta Jawaisme itu.
Kudus bagian utara juga menawarkan wisata religius dan eksotisme alam. Di pegunungan Muria ini, wisatawan domestik maupun asing dimanjakan nuansa alam yang sejuk nan asri. Di dataran tinggi ini tampak panorama hijau royo-royo sejauh mata menerawang, sebab disana banyak terdapat pepohonan jati dan tanaman kopi. Disela-sela menghilangkan penat, pengunjung bisa mencicipi makan tradisional cita rasa khas daerah Colo.
Bagi yang bermaksud berziarah ke makam Sunan Muria, perlu mendaki tangga-tangga yang berkelok-kelok. Sambil menuju ke tempat tujuan, wisatawan akan masuk lorong-lorong sentra penjualan pernak-pernik, pakaian produk lokal (man-made) hingga aneka buah-buahan sekalipun. Seperti jeruk Pamelo,
bisa diperoleh lumayan murah, tergantung jurus apa pembeli menawarnya.
Wisata historis
Memang. Kudus boleh berbangga dengan dua potensi wisata religius dan ekologis tersebut. Tapi, sebetulnya masih banyak wisata budaya lain yang masih tersimpan apik dan potensial mendatangkan income bagi daerah. Sepertihalnya wisata historis terhadap peninggalan yakni Sumur Tulak, Masjid Bubar, Omah Kapal dll
Sebut saja keberadaan Sumur Tulak. Bangunan yang terletak sekitar 1 km utara makam Sunan Kudus itu tampak sunyi di tengah keramaian jalan. Peninggalan punggawa Sunan Kudus ini, punya segudang cerita tentang perkembangan Islam Kudus. Konon, sumur ini bekas petilasan Syaikh Abdurrohman, yang tak lain murid Sunan Kudus.
Dikenal Sumur Tulak karena akronim dari tombo ngelak (obat haus). Sejarah singkatnya, air sumur ini pernah menjadi obat dahaga pasukan Majapahit. Saat itu pasukan Majapahit bermaksud menyerang kota Kudus, tapi malah menyerah sebelum berperang.
Sebelumnya, penduduk Kudus dan sekitar banyak memeluk agama Hindu. Mengamati perkembangan Islam di kudus sangat cepat dan berjalan damai. Bermula trans-religi itulah, membuat geram raja Brawijaya mengerahkan bala tentara guna menyerang Kudus.
Wisata historis lain bisa ditemukan di Benda Cagar Budaya (BCB) Masjid Bubar atau orang mengenalnya Bubrah. Bangunan historis ini tampak kurang terawat dan sebagian ada yang rusak. Bangunan yang tersusun batu-bata juga ada yang rumpang. BCB ini termasuk 68 yang tak bergerak yang telah mendapat surat keputusa dari Balai Pelestari Purbaka, dengan SK No 988/02.SP/BP3/P.IX/2006 (SM, 3/2/07).
Sebelum diberi atap berupa Joglo, BCB bebas menghirup udara dan tertanggang panas terik matahari. Pada tahun 2005, pengelolaan BCB ini mulai dilakukan dengan memberikan atap terbuat kayu jati. Kini, status kepemilikan BCB ini menjadi hak Pemkab Kudus.
Ada beberapa artefak peninggalan Hindu Budha yang masih utuh di luar ruangan masjid. Sepertihalnya benda Lingga (simbol kesuburan laki-laki), Yoni (simbol kewanitaan), Lumpang (alat pembuat jamu) dan lain sebagainya. Konon, bangunan yang didirikan pada abad ke XV tak berjauhan dengan bangunan Menara Kudus, tepatnya di desa Tepasan (PEKA, 2007).
Keberadaan benda bersejarah ini menjadi cermin bahwa potensi wisata historis di Kudus cukup kaya. Disisi lain, sebagai media pembelajaran dan bahan penelitian tentang kebudayaan ataupun tentang peradaban Hindu-Budha.

Ulin Nuha,
Redaktur Majalah Pena Kampus UMK

Minggu, 06 Juli 2008

Kultur Sensitivisme Islam dan Multikulturalisme Pancasila

Kultur Sensitivisme Islam dan Multikulturalisme Pancasila

Oleh : Abdul Rochim


Keragaman semestinya kehendak Tuhan, maka upaya menyeragamkan berarti melawan kehendak Tuhan.


Agama, belakangan menjadi isu sentral yang banyak diperbincangkan, didiskusikan, atau bahkan diperdebatkan oleh khalayak. Tak ayal, jika kemudian berbagai media dengan taraf dan jenisnya masing-masing memosisikan sebagai primadona media. Seolah tak ingin ketinggalan dengan halnya isu politik, dalam dialektika konstelasi global-nasional. Isu agama sekonyong-konyong mencuat menjadi ikon penting bahkan menyejarah.

Taruhlah Islam. Agama berpemeluk terbesar di Indonesia bahkan di dunia ini menyimpan selaksa romansa sensitivisme yang tinggi. Dalam lembar-lembar tarikh Islam telah mengalunlah kultur sensitivisme ketika bersinggungan secara langsung dengan dimensi aqidah.

Ya, aqidah. Sebuah dimensi yang musti dipegang teguh. Hal ini akan menjadi berbeda ketika para cendekia muslim berkutat dalam dimensi fiqiyyah. Barangkali, kompromi-isme dalam pebedaan cara memandang hal fiqhi tersebut _dalam terminologi Islam sering kita sebut khilafiyyah_ masih bisa dilakukan. Bisa dengan kata lain, kultur sensivitisme yang berlaku dalam centang-perenang perjalanan tarih Islam tadi seketika kompromis, bisa dilebur.

Meski, kita bisa saja bersitentang menyangkut dimensi fiqiyah. Diakui ataupun tidak, dimensi ini dalam Islam baik mainstream maupun malestream kerap kali dijumpai kerikil-kerikil tajam. Mari kita menengok kebelakang terkait sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1928. Pun pernah diwarnai dengan perdebatan hebat fiqiyah yang memicu keluarnya urat saraf dan sangat menguras tenaga NU dengan Muhammadiyah. Betapapun sengitnya perdebatan itu, toh pintu toleransi memang masih akan menganga lebar-lebar.

Karena konskuensi Islam mainstream yang mengikuti madzhab empat itu memang meniscayakan khilafiyah. Menyadari hal itu merupakan hal yang tak mengherankan bukan, sesaat mereka pada selanjutnya hidup bersinergi hingga tak perlu persoalan tadi ditanggapi berlebihan?

Awal abad 19 Islam di Jawa Tengah pun pernah menulis sejarah perbedaan khilafiyyahnya sendiri. Turut pula mengentakkan ajaran masyarakat Islam mainstream. Bagaimana mungkin Kyai Ahmad Rifai, pelopor aliran Rifaiyyah, yang selama itu mengikuti Sunni Syafiyyah sama sekali berbeda ajaran syariatnya, fiqih.

Berseberangan. Dari tangan Kyai Rifai ini lahir beberapa karya monumental yang isi ajarannya tak lazim untuk kalangan Islam mainstream. Seperti dalam kitabnya Takhirah Mukhtashar, Kyai kontroversial ini dengan bangga melempar diskursus bahwa rukun Islam iku sawiji loko, rukun Islam itu satu saja. Dalam kitabnya ini Kyai Rifai praktis hanya mengajarkan Rukun Islam sawiji bloko yakni sayahdat dua, pinjam istilah beliau. Di sisi lain, jauh sebelumnya, Islam mainstream telah mengajarkan rukun Islam 5 (Syahadat, Sholat, Zakat,Puasa, Haji).

Sementara para Kyai Islam mainstream seketika terkejut. Terkejut demi mendengar ajaran yang dirasa meresahkan itu. Sekaligus Kyai Rifai berarti telah melakukan dekonstruksi status quo (kemapanan) terhadap ajaran Islam mainstream.

Akan teapi ajaran Islam sawiji bloko oleh Mbah Rifai ini bukanlah asal. Ternyata jika dikaji lebih jauh kenapa kyai ini mengajarkan demikian, sejatinya melalui pemikiran yang panjang dan setiap detil alasan berdasarkan sumber yang literal.

Ini dibuktikan dengan kenyataan ketika seorang muslim tidak melakukan shalat, misalnya, muslim ini pun masih dianggap Islam. Seorang muslim masih dengan ke-musliman-nya manakala telah menanggalkan perintah zakat sekalipun. Meski meninggalkan puasa toh masih disebut muslim. Sebaliknya, saat lisan seseorang belum mengikrarkan syahadattain -syahadat dua- semua ulama sepakat ia masih kafir.

Padahal pemahaman rukun, merupakan belum sah jika tak tunai satu saja dari rangkaian rukun itu. Seperti misalnya, sholat seseorang muslim belum sah jika belum membaca surat Al fatihah. Satu bukti, bahwa pendapat Kyai Rifai ini tak asal.

Dan sejatinya pendapatnya bersandar pada ulama sunni (lihat: Takhirah Muhtashar, hal: 1), anutan Islam mainstream di Indonesia, yang dikemudian hari menamakan diri sebagai Muhammadyah dan NU.

Meskipun ajaran Kyai Ripangi -begitu Serat Cebolek menyebutnya- beresensi sama dengan Islam mainstream tetap saja mendapat pertentangan. Apakah pertentangan ini menyurutkan Kyai Ripangi. Ternyata tidak.

Nada manggugat dari banyak ajaran Kyai Ahmad Rifai rupanya makin nyaring terdengar. Seolah tak hirau. Ini pula yang menjadi Bupati Batang yang memimpin di kisaran tahun 1850-an Tumenggung Ario Puspadiningrat terusik.

Putusan sidang 7 Mei 1859 itu melemparnya ke pengasingan di Ambon oleh pemerintah kolonial Belanda. Bagi pemerintah colonial, Kyai Rifai ialah sosok yang berbahaya. Betapa tidak, ajaran Kyai tak menyoal ajaran syariat saja. Namun juga menyangkut ke persoalan politik. Kyai yang produktif di bidang kepenulisan ini juga mengarang kitab-kitab bernada nasionalisme dan perlawanan. Sebenarnya, lebih karena alasan ini Belanda membuangnya ke Ambon.

Bagai ombak yang bolak-balik menghantam sang karang. Kultur sensitivisme Islam selalu mengharu-biru. Selalu hidup, hingga mampu berevolusi di tiap etape kehidupan. Mundur ke belakang lagi kita segera mendapati kisah Syekh Siti Jenar bagian dari Islam malestream yang menggemparkan bumi Jawa Dwipa ketika itu.

Ajaran Siti Jenar mengadapi pertentangan keras dari Dewan wali Sembilan yang lebih dikenal wali songo karena menyentuh bagian paling sensitive yakni Aqidah.

Dengan berani pula Siti Jenar beradu rasa dengan wali songo mengenai ajaran manunggaling kawulo gusti. Siti Jenar tak lagi berdebat masalah fiqih namun telah menyangkut aqidah dengan megaku Tuhan. Tuhan telah bersemayam dalam dirinya setelah kemudian ajaran inilah yang menjadi alasan walisongo memenggal lehernya.

Singkatnya, Siti Jenar menurut Wali songo telah sembrono mempermainkan wilayah sensitive ini. Bukan pada wilayah fiqhi yang mafhum, namun lebih dari itu yakni aqidah.





Mengulang Konflik

Ketika dialektika sensitivisme itu telah lama meninggalkan panggung sejarah, tenggelam oleh perputaran waktu, kini mengguncang lagi denyut nadi kehidupan berbangsa yang coraknya beraneka ragam.

Kenyataan itu yang tertangkap di peristiwa Monas (1/6). Sejarah memang senantiasa berulang. Ratusan massa yang menamakan diri sebagai Front Pembela Islam (FPI) beberapa waktu lalu mneyeruak lalu kemudian menyerangi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Beragama (AKKBB) menyambut Hari Lahir Pancasila di silang Monas. Sejumlah pihak mengecam, ini merupakan bentuk pencideraan nilainilai kebhinekaan.

Namun di sisi lain, Munarman, pelaku utama penyerangan ini menduga apel AKKBB ini merupakan pembelaan jemaat Ahmadiyah yang selama ini dinyatakan sesat, paling tidak pada pemerintahan Orla dan Orba.

Di titik ini, kita dapat menarik benang kesimpulan yang pada akhirnya menyatakan bahwa peristiwa itu berurat-akar kan pada persoalan agama, sensitivisme islam. Peristiwa yang mendudah ingatan silam, menguak luka lama.

Pada kenyataannya peristiwa Monas ini pun memang membelah keutuhan bangsa apalagi umat Islam. Sejumlah tokoh nasional dan Islam banyak bersitentang karena aksi kekerasan itu.

Tokoh yang paling kerap muncul ke permukaan ialah Gus Dur yang berada di pihak Ahmadiyah dan membela kebhinekaan. Langkah ini pula mendapat banyak pertentangan oleh tokoh utama Habib Rizieq dan tokoh-tokoh Islam (baca : MUI) yang sedari dulu geram dengan Ahmadyah. Perlu dijadikan catatan pula tokoh Islam yang resah seperti KH Hafidz Ustman ketua MUI, tak sepenuhnya setuju dengan aksi kekerasan.

Sejatinya pula keresahan tak perlu membenam di hati dan pikiran umat Islam, jika Ulama ataupun tokoh telah yakin, ketika umatnya sangat kuat dengan terpaan ideology lain. Bukankah ini makin menunjukkan Ulama dan tokoh belum membentengi umatnya dengan ideologi yang diyakini benar.

Penulis memandang ini merupakan gejala amnesia. Umat lupa bahwa perang ideologi takkan dapat dimenangi dengan aksi kekerasan. Bukankah seandainya saja, dibumi hanguskan bangunan, pemeluk, dan kitab-kitabnya Ahmadiyah, ideologi itu akan tetap ada?

Penulis sangat yakin ideology dan keyakinan itu akan tetap membelam pada akal dan pikiran Ahmadiyah dan non Ahmadiyah sekalipun. Artinya, aksi kekerasan sebenarnya tak menghasilkan apa-apa selain dengan hasil ‘nihil’. Sebalikya kekerasan FPI hanya akan membelah Indonesia.

Malahan dari serangkaian perdebatan setelah aksi kekerasan FPI dan KLI menunjukkan bahwa mereka (FPI dan KLI) telah kalah dalam peperangan ideologi ini. Simpatik lebih banyak mengarah kepada warga Ahmadiyah. Sedangkan FPI dan KLI lebih sering menuai kecaman. Ironinya kecaman terhadap FPI keluar justru dari kalangan yang secara ideologi maupun keyakinan sama, Islam mainstream.


Cara Pandang Multikulturalisme-Pancasila

Lepas dari dari itu semua, bahwa ini merupakan gejala sensitivisme yang semenjak dulu ada. Dan ini dengan bukti empiris sejarah telah melahirkan keterbelahan diantara Islam, meluasnya ke ranah kehidupan bangsa.

Indonesia dengan entitas keberagaman agama, suku, budaya, telah pula melahirkan bangsa yang multikultur pula. Setidaknya multikulturalisme perlu dijadikan pijakan sebagai cara pandang orang-orang multikultur.

Sampai di sini, penulis memandang dengan segala persepektiv subjektif, bahwa Indonesia yang multikultur belum menemukan tata nilai yang sesuai. Sebagian masih belum mau menerima konskuensi yang besar kemungkinan menimpa dibumi multikultural ini. Idealnya menyelamatkan aqidah, tak harus mngorbankan keutuhan bangsa.

Penulis tergelitik ketika melihat fenomena yang terjdi itu. Bahwa nasionalisme tak dihraukan untuk menyempurnakan din-nya. Seperti halnya mereka menjaga aqidah di penghabisan darah paling akhir.

Dalam percakapan hangat Sukarno dengan Kyai Wahab (Kyai NU rentang tahun 1926-awal kemerdekaan) tentang wacana nasionalisme dan Islam, menjunjung tinggi aqidah tanpa harus mengorbankan rasa kebangsaan.

Dan berangkat dari sini pula, perlu direaktulisasikan kembali tentang pengamalan nilai-nilai Pancasila. Pancasila terposisikan dalam kompromi politis menghindari keterbelahan etnik, agama, budaya ataupun entitas keberagaman lain yang menyusun bangsa multi kultur ini.

Pancasila merupakan satu system tata nilai yang banyak memuat, teologis-mistis, etis-praktis, histories-kultural. Inilah tiga jembatan metodologis seperti yang dikatakan F Knitter.

Menengarai sensitivisme Islam yang memunculkan praktik kekerasan ini, nilai-nilai Pancasila setidaknya dapat digunakan untuk menyamakan ritme langkah kehidupan berbangsa. Pada sisi kemanusiaan, entitas keragaman itu akan senantiasa dapat berjalan beriringan, (etis-praktis).

Sementara teologis mistis menurut F. Knitter yang memuat paham relativisme tak perlu diambil sebagai pijakan teologis mistis Pancasila. Karena itu justru menciptakan dekonstruksi bangunan keyakinan. Sebaliknya, penulis menyarankan untuk memakai fanatisme dalam konteks berkeyakinan itu sendiri.

Keadaan demikian harus terus berlanjut dengan penyamaan rasa karena berasal dari satu akar sejarah dan budaya yang sama. Namun serasa tak menemukan kembali dalam kedinamisan hidup, Pancasila tertinggal dalam penjara dingin yang jauh dari bangsa yang seharusnya memijaknya.

Ruang-ruang sosial yang pengap dengan pengamalan Pancasila saat ini mesti perlu direduksi. Hingga tak perlu lagi kita menjumpai konflik sama. Sekedar lalu menjadikannya sebagai tajuk pagi dalam lembar harian kehidupan bangsa multikultur. Jika tidak, kita terpaksa akan membaca lagi tajuk pagi itu.

Pemimpin redaksi Pena Kampus Universitas Muria Kudus







Senin, 07 April 2008

Menguak Misteri Sumur Tulak

Reporter: Abdul Rochim

SAMBIL membawa sebuah ceret, puluhan warga terlihat berduyun-duyun menuju sebuah bangunan kecil kusam, pada petang hari Rabu, (23/1) atau 15 Muharram dalam kalender Hijriyah. Warga Desa Krapyak dan sekitarnya ini terlihat sangat antusias menuju bangunan yang temboknya berlumut. Apa yang mereka lakukan?

Tujuan warga tak lain ke sebuah bangunan yang di sisi dindingnya tertulis Sumur Tulak (ST) yang bersilangan dengan kata Punden. Sedang diatasnya lagi tertulis angka 1800/ (huruf berikutnya tertutup kayu), lalu tertulis lagi tahun 1964 yang kabur, tak jelas. Mungkin oleh penulisnya ingin dijadikan tanda didirikannya punden tersebut.

Jika dilihat gaya arsitekturnya, bangunan ini memang mirip dengan rumah pada tahun 60-an. Ventilasi persegi berjajar menghias bagian atas bangunan. Atapnya bermodel meniru bangunan arsitektur Belanda pada kebanyakan. Empat pilar kokoh yang menyangga dan pintu yang bersirkulasi semakin menambah kesan antik.

Kedatangan warga ke bangunan yang hanya berukuran 6 x 8 meter persegi ini, tak lain ingin memperoleh air Sumur Tulak. Lantaran yang datang cukup banyak, tentu saja bangunan kecil ini tak mampu lagi menampung jumlah warga terus berdatangan. Bahkan semakin petang warga semakin banyak yang datang dan tentu saja mereka harus berdesakan.

Hilir mudik warga yang akan dan telah mengambil ini bukan merupakan pemandangan yang asing pada hari itu. Mereka yang menyempatkan mengambil air, datang dari berbagai kalangan. Ada kalangan awam, bersarung, mahasiswa, peneliti, juga wartawan. Semua juga ingin mendapatkan segayung air yang konon mengandung keberkahan.

Lalu dari mana sumber air ini berasal? Di dalam bangunan ini tak lain terdapat sebuah sumur kecil berdiameter kurang lebih 1 meter, dengan kedalaman 2,5 meter. Uniknya, permukaan air tak surut walau airnya telah diambil dan dibagikan pada ratusan warga Krapyak dan sekitarnya. Atau bahkan warga Kudus sekalipun. Anehnya, ketika air sumur diambil, air yang keluar jadi lebih cepat.

Inilah Sumur Tulak, di mana masyarakat berebut untuk mendapatkan air yang diyakini bertuah tersebut. Sumur fenomenal di mana orang-orang merasa ikut memiliki dan memasukkan di hati sanubari terdalam mereka sebagai sebuah peninggalan kearifan budaya.

Air Sumur Tulak ini memang bukan air biasa. Mereka memercayai air itu mengandung keberkahan. Tanpa dimasak pun air sudah dapat diminum. "Malah kalau dimasak justru akan menghilangkan keberkahan air itu sendiri," ungkap Sya'roni, pria yang dipercaya menjadi kuncen (juru kunci) sejak 10 tahun lalu.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, air Sumur Tulak biasa dijadikan sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu. "Terserah apa yang diharapkan, dan yang paling penting air ini hanya sebagai media," jelas Muslim, kuncen yang lain. "Yang mengabulkan segala permintaan hanya Allah SWT," lanjutnya.

Rupanya, ketenaran sumur ini tak hanya di lokasi itu saja. Lebih dari itu, Sumur Tulak ini juga dikenal di kota lain di Indonesia. Bahkan menurut penuturan Sya’roni yang tinggal tak jauh dari ST, ia pernah didatangi seorang Habib (trah Nabi Muhammad) dari negeri Kincir Angin bermaksud mengambil air itu. Ini menandakan, sumur ini sudah dikenal di belahan dunia lain. Demikian pula, ada warga Kediri yang secara rutin setiap tahun berkunjung kemari hanya untuk mengambil air sumur itu.

Menelusuri Jejak Sumur Tulak
Awal mula adanya sumur ini tak bisa dilepaskan dari sebuah perjalanan sejarah Kota Kudus. Dari sebuah daerah yang dipenuhi umat Hindu menjadi sebuah daerah yang penuh nuansa ke-Islaman. Sebuah daerah yang bercorak Qur’ani, hingga kota ini juga dijuluki kota santri dan berani mentasbihkan diri sebagai pusatnya Al Qur’an. Hal ini, ditandai dengan berdirinya Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an.

Sementara transformasi religi ini tak lepas dari peran tokoh besar, Syekh Ja’far As-Shadiq atau lebih dikenal Sunan Kudus, yang datang membawa ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam yang dibawanya disebarkan secara halus, damai dan melalui diplomasi yang cantik. Sementara Te Ling Sing, seorang tokoh yang menjadi panutan pada zaman itu, sampai terkagum-kagum akan keindahan cara Sunan Kudus menyebarkan ajaran Islam.

Pesatnya pertumbuhan agama Islam (1600 M) di Kudus membuat Raja Majapahit gerah. Ia khawatir akan daerah yang dulu dihuni ummat Hindu sekarang telah beralih menjadi hunian ummat Islam. Dan lagi, semakin banyak pengikutnya beralih dengan memeluk agama Islam.

Raja Brawijaya pun geram. Ribuan bala tentara kerajaan Majapahit dikerahkan untuk menggempur kerajaan Islam di Kudus. Sunan Kudus sebagai orang yang waskita, ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum datang peristiwa, red) juga memberi kepercayaan kepada punggawa yang bernama Sayyid Abdurrahman bin Muhammad untuk menjaga rayon utara kerajaan Islam Kudus.

Namun karena mulai dihinggapi letih, sang punggawa pun terkantuk dan tertidur dengan menancapkan tongkat sesaat sebelumnya. Aneh bin ajaib ribuan pasukan Majapahit hanya bengong manakala melihat pelangi yang indah (dari tongkat Sayyid Abdurrahaman) sesampainya di rayon bagian utara di mana sang punggawa tertidur.

Mengetahui hal itu, Sunan Kudus membuatkan masakan (nasi putih, janganan, sambal, dan ikan bethik dan lele goreng) untuk menjamu ribuan pasukan Majapahit. Karena makan sambal, pasukan-pasukan itu kepedesan. Oleh Sunan Kudus, tongkat yang tadinya tertancap, dimasukkan lebih dalam lagi ke tanah. Sehingga dari situ keluar air putih, pasukan-pasukan itu baru bisa meneguk minum. Anehnya lagi, tulang dari ikan tadi berubah lagi menjadi ikan dan hidup.

Ketakjuban pasukan-pasukan Majapahit kian menjadi-jadi. Hingga mereka berebut air yang menurut anggapan mereka ajaib itu. "Aina Sayyid Abdurrahman, ‘ajjillana," teriak Sunan Kudus membangunkan Sayyid Abdurrahman. "Jogo jo nganti leno," tutur beliau. Jo leno yang kemudian dijadikan sebagai nama Jawa, Sayyid Abdurrahman. Jo leno juga dijadikan peribahasa
Jawa penuh makna.

Karena takjub, pasukan-pasukan itu lalu digiring ke masjid dan dibujuk Sunan Kudus untuk menganut ajaran agama Islam. Lalu kemana Sayyid Abdurrahman? Konon seusai pasukan-pasukan Majapahit itu digiring ke masjid, Sayyid Abdurrahman atau lebih dikenal Mbah Joleno ini pulang melalui sumur tadi ke Hadramaut Yaman memenuhi panggilan Sang Ayah yang sedang sakit keras.

Hingga kini air Sumur Tulak itu masih diperebutkan oleh banyak orang-orang yang ngelak (haus, red) seperti pada zamannya diperebutkan tentara-tentara Majapahit. Sebab, tulak, akronimnya adalah tombo ngelak.

Tanggal 15 Muharram lalu, adalah potret yang sama persis dengan apa yang terjadi empat abad silam. Sekarang ini sebelum warga diperbolehkan mengambil air, didahului dengan prosesi khataman dan tahlilan (membaca kitab suci Al Qur’an sampai habis dan membaca tahlil, red).

Malam harinya juga diadakan khataman Al Qur’an bil ghaib oleh santri-santri dari Ponpes Yanbu’ul Qur’an dan dilanjutkan dengan pengajian. "Peserta pengajian berjumlah ribuan karena kami menyediakan 1.500 bungkus nasi, hampir habis dibagi-bagikan kepada peserta pengajian," terang Sya’roni yang juga alumnus Madrasah Qudsiyah ini.

Sumur Tulak, tak hanya menjadi kekayaan budaya semata. Namun babad cerita yang disampaikan secara getok tular (mulut ke mulut, red) ini juga sarat dengan nilai-nilai yang dapat di petik dan dimanifestasikan pada kehidupan sekarang ini yang bias nilai. (*)

Alih Kode dan Fungsinya Dalam Film Kiamat Sudah Dekat

Oleh Ahdi Riyono*

A language is what native speakers say, not what someone thinks they ought to say (Clifford H. Prator, 1980).

Setiap bahasa dapat dipastikan memiliki variasi atau ragam bahasa. Hal ini dikarenakan pengguna bahasa atau para penutur bahasa memiliki latar belakang yang beragam. Mereka dapat berasal dari golongan orang tua, dewasa ataupun remaja. Variasi atau aneka kode menurut pemakaiannya merupakan aturan-aturan bahasa yang bersifat sosial yang muncul dalam setiap komunikasi dan tidak mungkin diabaikan.

Setiap pembicaraan ditentukan oleh siapa yang berbicara, dengan siapa, di mana, bilamana, tentang apa, dan dengan sarana/cara apa seseorang itu berbicara. Dalam film ‘Kiamat Sudah Dekat’ yang dibintangi oleh Deddy Mizwar sebagai pak haji, Andre Stinky sebagai Fandy, dan Muhammad Dwiki Reza sebagai Saprol terdapat aneka kode yang digunakan oleh ketiga tokoh tersebut dan karakter lainnya. Mereka mewakili dari golongan tiga generasi orang tua, dewasa, dan Remaja. Dalam berbagai situasi tutur, mereka menggunakan variasi kode yang berbeda-beda.

Sementara itu, kajian bahasa yang mengaitkan bahasa dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau sosial dikaji dalam sosiolinguistik. Sosiolinguistik termasuk bidang linguistik yang melihat persoalan bahasa sebagai alat komunikasi. Sosiolinguistik melihat bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa.

Konsep tentang kode dalam konteks alih kode tidak sama dengan bahasa. Kode dalam istilah alih kode cocok diberikan pengertian sebagai varian (atau variasi) tertentu dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 1983: 86). Pengertian ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Wojowasito (dalam Halim(ed), 1981) yang menggunakan istilah kode dengan pengertian yang agak lurus, tidak saja berupa bahasa dan logat, tetapi juga tingkat-tingkat, gaya cerita, dan gaya percakapan. Sedangkan Poejosoedarmo (1978) memberikan definisi kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada.

Sampai di sini, alih kode dapat diartikan sebagai alih varian dalam penggunaan bahasa karena pada waktu berbicara, seseorang pembicara sering mengganti kode bahasanya. Menurut Hudson (1996: 51) alih kode terjadi karena di dalam masyarakat terdapat lebih dari satu bahasa atau variasi yang disebut dengan bilingualisme atau multilingualisme. Setiap individu yang berbicara lebih dari satu bahasa pasti akan memilih diantara bahasa-bahasa itu sesuai dengan kapan bahasa itu digunakan. Masih menurut Hudson (1996: 51) pertimbangan dalam memilih bahasa atau variasi; (1) bahasa atau variasi harus dapat dipahami mitra tutur, (2) disesuaikan dengan aturan sosial (social rules).

Dengan demikian alih kode adalah alih bahasa dengan tujuan mengakomodasikan berbagai macam variasi bahasa: dialek dan register. Alih kode yang demikian menurut Hudson (1996: 52) disebut dengan alih kode situasional, yaitu peralihan kode terjadi bersamaan dengan perubahan situasi eksternal yang dapat diamati. Contoh alih kode situasional seseorang penutur yang sedang berbicara terhadap seseorang O2, dan biasanya, dia pakai bahasa Indonesia. Tiba-tiba saja, karena satu dan lain hal, di ganti bahasa itu dengan bahasa Jawa Krama. Pergantian itu bisa hanya berlangsung satu kalimat lalu pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya, yakni bahasa Indonesia (Poedjosoedarmo, 1978:2). Sedangkan peralihan kode yang didasarkan karakteristik situasi eksternalnya tidak atau sulit ditentukan disebut alih kode metaforis (Methaphorical switching) (Blom dan Gumpers 1971 dalam Hudson 1996).

Film kiamat sudah dekat merupakan film yang bernuansa edukatif dan religius serta menggambarkan masyarakat multilingual. Dengan demikian, terdapat alih kode dalam hampir setiap pembicaraan. Film ini menggambarkan perjalanan seorang anak muda, seorang musisi rock, rocker, yang sama sekali tidak mengerti masalah agama, ingin mendapatkan seorang wanita muslimah bernama Sarah, putri seorang pak haji/kyai.

Dalam film ini muncul alih kode yang digunakan dalam bertutur oleh para karakter utama yang tentunya mempunyai fungsi dan tujuan kemasyarakatan tertentu. Berikut berberapa jenis alih kode yang muncul:

Alih Kode Bahasa Arab
Alih kode adalah bentuk peralihan kode dalam percakapan dengan dengan tujuan-tujuan tertentu. Berikut contoh beberapa alih kode yang terdapat dalam Film Kiamat Sudah Dekat; contoh (8) terjadi saat Fandi ketemu pak haji di Mushola setelah sholat Ashar.
(8)
Pak haji : Jadi bener elo pengin kawin ama anak gue?
Fandi : ya, biasanya sih penjajakan dulu pak haji, pacaran!, pacaran!.
Pak haji : Gak, gak ada pacaran, haram!. Langsung nikah!
Fandi : (nampak kegirangan), oh, I like it. Boleh-boleh, ok!
Pak haji : pacaran nanti kalo udah kawin, aman gak ada fitnah.
Fandi : Oh, that’s right, pak haji. Betul-bentul.

Dari penggalan contoh tuturan (8) tampak pak haji menggunakan alih kode, yaitu menggunakan bahasa Arab saat Fandi mengatakan pacaran!, pacaran. Tuturan haram! Adalah kependekan dari tuturan lengkap hada haram (ini haram). Kata hada diganti dengan intonasi yang keras pada kata haram. Dengan demikian, arah alih kode dalam cuplikan contoh di atas adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab.

Pada tuturan sample (1) pun terdapat alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab
H.R : Anak muda, seminggu lagi datang ke mushola ba’da Ashar!
Fandi : Jam berapa pak?
H.R : Ba’da ashar.
Fandi : Ba’da ashar, ya. Ok, fine.

Dari cuplikan tuturan (1) di atas dapat dilihat bahwa alih kode dilakukan Haji Romli pada saat ia menjanjikan ketemu kembali dengan Fandi pada minggu depannya. Namun, pak haji tidak menyebutkan jamnya tapi hanya tempat, yaitu mushola dan ba’da ashar. Kemudian Fandi menanyakan kembali pukul berapa dia harus ketemu di mushola. Pak haji tetap jawab ba’da ashar. Ba’da ashar adalah frasa arab yang artinya setelah sholat ashar. Jadi, arah alih kode di atas adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab.

Alih Kode Bahasa Inggris
Seperti alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab juga, banyak digunakan alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Berikut contoh dari sample (8).
Pak haji : Gak, gak ada pacaran, haram!. Langsung nikah!
Fandi : (nampak kegirangan), oh, I like it. Boleh-boleh, ok!
Pak haji : pacaran nanti kalo udah kawin, aman gak ada fitnah.
Fandi : Oh, that’s right, pak haji. Betul-bentul.

Dari percakapan (8) Si Fandi yang mempunyai latarbelakang cukup lama tinggal di Amerika saat bercakap-cakap dengan Haji Romli sebelumnya menggunakan bahasa Indonesia yang agak formal tiba-tiba pada saat pak haji mengatakan haram!, langsung nikah, Si Fandi mengalihkan kode dari bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. "Oh, I like it" Ok, ‘that’s right’, yang artinya oh, saya setuju itu ya, itu tepat. Dengan demikian, dapat dikatakan arah alih kode dalam cuplikan percakapan di atas adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris.

C ontoh selanjutnya adalah dari sample (7)
Konteks saat Fandi akan merekam si Saprol untuk membaca bacaan sholat.
Fandi : Ok, men?
Saprol : Ok, men.
Fandi : Siap ya, ok. One, two, three go!

Dari percakapan (7) di atas dapat dilihat bahwa alih kode dilakukan oleh Fandi. Alih kode yang dimaksud adalah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, yakni siap ya, ok. One, two, three go! ‘ satu, dua, tiga, mulai!’. Alih kode itu terjadi pada saat Fandi memberi aba-aba Saprol untuk memulai rekamannya.

Fungsi Alih Kode
Ditinjau dari sementaranya atau tidak sementaranya alih kode yang terdapat dalam wacana Film Kiamat Sudah Dekat, dapatlah dikatakan bahwa semua alih kode yang ada dalam wacana tersebut adalah bersifat tetap. Hal yang demikian disebabkan kontak bahasa di antara pelakunya bersifat terus-menerus.

Dari penelitian, didapatkan bahwa ternyata alih kode itu memang memiliki arah tertentu dan peralihan dari satu kode ke kode yang lain itu pasti memiliki maksud. Dengan kata lain, penutur dalam beralih kode pastilah memiliki fungsi. Fungsi-fungsi tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Fungsi larangan
Dalam wacana percakapan contoh (8), alih kode yang digunakan oleh Haji Romli dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab saat merespon jawaban Fandi yang ingin berpacaran dahulu sebelum menikahi Si Sarah. Dengan nada tinggi, haji Romli mengatakan ‘haram’!, dengan diikuti ungkapan langsung nikah. Maksud dari alih kode tersebut adalah larangan untuk berpacaran.

Karena dalam pandangan Haji Romli pacaran dilarang dalam agama Islam, sehingga ia langsung berujar ‘langsung nikah’. Artinya setelah dikenalkan dan cocok langsung nikah. Jadi tidak dengan pacaran. Dengan demikian fungsi dari alih kode di atas adalah fungsi pelarangan.

Fungsi Ujian
Dalam wacana tuturan (1), ketika Haji Romli bertemu dengan Fandi di rumahnya, kemudian mereka membuat perjanjian ketemu lagi. Melihat gelagat Fandi adalah pemuda yang tidak tahu agama dan tidak pernah sholat, lalu Haji Romli mengharapkan pada Fandi untuk menemuinya kembali di mushola ba’da ashar. Frasa ba’da ashar ditelinga Fandi agak aneh dan bingung apa yang dimaksud Haji Romli. Kemudian dia kembali bertanya jam berapa? Tetap dijawab ba’da ashar. Di sini ada praanggapan dalam diri Haji Romli bahwa kalau Fandi sholat pasti akan tahu pukul berapa ba’da ashar. Dengan demikian fungsi alih kode dalam percakapan (1) adalah fungsi ujian.

Fungsi menyatakan persetujuan
Dalam tuturan (8) ketika Haji Romli melarang Fandi untuk berpacaran dengan anaknya, Si Sarah Haji Romli memberikan solusi langsung nikah. Dengan solusi yang diberikan Haji Romli tersebut Fandi dengan gembira mengatakan oh, I like it. Boleh-boleh, ok!. Alih kode yang diucapkan oleh Fandi berfungsi untuk menyatakan persetujuan pada apa yang dikehendaki Haji Romli. Dengan demikian alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris berfungsi untuk menyatakan persetujuan.

Fungsi aba-aba
Di samping fungsi-fungsi yang telah disebutakan, terdapat fungsi lain, yaitu fungsi memberikan aba-aba. Hal ini dapat dilihat pada sample (7), yaitu pada saat Fandi akan merekam Saprol untuk membaca bacaan sholat. Setelah Si Saprol siap di depan peralatan rekam, kemudian Fandi memberi aba-aba dengan menggunakan bahasa Inggris "One, two, three go! Yang artinya satu, dua, tiga,mulai. Dengan demikian, fungsi dari alih kode ini adalah untuk menyatakan aba-aba.

Dengan demikian, Pemakaian bahasa dalam masyarakat yang berdwibahasa (bilingual) atau multibahasa (multilingual) merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolinguistik. Masyarakat Jakarta (Betawi) adalah masyarakat yang berdwibahasa. Artinya kedwibahasaan atau bermultibahasaan tersebut dapat memunculkan pemakaian bahasa yang bervariasi dalam masyarakat, khusunya alih kode.

* Penulis adalah staf pengajar pada program Pendidikan Bahasa Inggris, dan ketua Kelompok Studi Bahasa dan Budaya (KS2B), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muria Kudus, Kudus, Jawa Tengah.

Mahasiswa dan Kepedulian Sosial

BENCANA banjir kembali datang. Kali ini disebabkan jebolnya tanggul Kali Wulan yang menyebabkan hamper seluruh desa di Kecamatan Undaan tergenang. Banjir kali ini tercatat yang terparah sejak 10 tahun terakhir. Tak ayal peristiwa ini melumpuhkan jalur transportasi Kudus-Purwodadi.

Banjir yang mencapai ketinggian 4 meter tersebut juga menghancurkan belasan rumah warga dan menenggelamkan ribuan hektar padi yang baru beberapa pekan ditanam. Hal ini tentunya mengakibatkan petani merugi miliaran rupiah.

Untuk meringankan beban korban banjir, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muria Kudus (BEM UMK) telah membuka posko di Desa Medini, Kecamatan Undaan, Senin (31/12/07). "Berangkat dari kejadian ini, kami selaku BEM UMK membuka posko, sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat," kata Suwoko Presiden BEM UMK.

Sebelumnya, pihak BEM terlebih dahulu melakukan observasi untuk menentukan tempat pendirian posko. Setelah observasi, dipilihlah Desa Medini sebagai tempat pendirian posko. "Kami memilih Medini dikarenakan letak desa yang strategis dan masih terisolir, serta belum ada satupun posko yang didirikan di desa ini," terang pria bertubuh subur ini.

Suwoko mengatakan, relawan UMK ini bertugas selama 7 hari, mulai 31 Desember 2007 - 6 Januari 2008. Disamping mendistribusikan logistik, relawan pun melakukan evakuasi warga, membersihkan masjid, membantu rehab tanggul jebol, memulihkan psikis warga, terutama pada anak-anak.

Dengan dana Rp 10 juta rupiah dari YP UMK, BEM membelanjakannya untuk kebutuhan yang diperlukan masyarakat korban banjir. "Sebelumnya, kami bekerjasama dengan pihak perangkat Desa Medini, karena mereka yang lebih tahu seluk-beluk desanya, sehingga diharapkan ketika pendistribusian logistik berlangsung, logistik bisa merata," jelas Suwoko yang juga warga Desa Berugenjang, Kecamatan Undaan ini.

Dalam kegiatan ini, Suwoko juga menyoroti kurang pekanya mahasiswa UMK, dalam menyikapi isu-isu yang berkembang di tengah masyarakat, baik lokal maupun nasional. Ini terbukti dangan sedikitnya mahasiswa yang terjun menjadi relawan penanganan banjir Undaan.

Ke depan, Dia berharap akan muncul mahasiswa UMK yang mampu menyikapi isu-isu yang berkembang saat ini, terlebih mampu memberikan solusinya. "Sebagai mahasiswa, kita harus mempunyai sumbangsih kepada masyarakat, mengingat kita adalah kaum terdidik yang juga mempunyai tanggungjawab kepada masyarakat", tegasnya. (agus)

Kagum Dengan Kekompakan Mahasiswa Indonesia

ANDA memiliki gaya hidup yang santai, serius, atau suka hal-hal yang berbau hiburan? Setiap orang memiliki gaya hidupnya sendiri. Kebanyakan remaja senang meniru gaya hidup selebriti. Mereka memakai pakaian atau aksesoris yang dikenakan artis-artis sinetron di televisi. Sedang tren katanya.

Begitu juga dengan hobi atau kesenangan seseorang bermula dari kebiasaan yang sering dilakukan orang tersebut. Berbagai hobi ditekuni, dari kebiasaan mengumpulkan perangko sampai memainkan alat musik tertentu. Namun yang namanya hobi membaca rupanya belum begitu akrab ditekuni di kalangan remaja kita, terutama mahasiswa.

Lain halnya dengan remaja, khususnya mahasiswa di Jepang yang memiliki minat baca tinggi. Bahkan jika dikalkulasi, konsumsi membaca buku tiap orang di negeri matahari itu mencapai 50 buku per tahun. Artinya membaca buku sudah menjadi sebuah gaya hidup di negeri yang terkenal dengan drama seri berjudul Oshin tersebut.

PEKA sempat mewawancarai Shiho Sawai, seorang pelajar asal Jepang yang menjadi pemateri dalam Seminar Sastra Nasional di gedung DPRD Kudus, Minggu (20/1). Shiho mengaku sedih melihat perpustakaan di Indonesia yang serba kekurangan. "Di Jepang perpustakaannya sangat lengkap, harga buku juga murah," ungkap wanita yang masih aktif kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogjakarta.

Kebiasan membaca warga Jepang rupanya dipengaruhi kebiasaan mereka menggunakan kendaraan publik. Menunggu kereta listrik atau bus sampai di tempat tujuan, menurut Shiho menginspirasi mereka untuk memanfaatkan waktu dengan membaca. "Daripada menghabiskan waktu melamun di kendaraan umum masyarakat di negara saya memilih membaca buku," tutur mahasiswa yang konsen pada ilmu sastra Indonesia ini.

Jepang, terkenal dengan teknologinya yang berkembang pesat. Macan Asia, demikian julukan yang melekat pada negeri industri itu. Namun menurut Shiho, perkembangan teknologi di Indonesia juga tidak kalah. "Perkembangan teknologi di Indonesia sangat bagus, itu dapat dilihat pada majunya sistem teknologi informasi," jelas wanita kelahiran Kyoto ini.

Di Indonesia, kurangnya minat membaca buku di kalangan mahasiswa, salah satunya dipengaruhi harga buku yang relatif mahal, apalagi yang best seller. Namun menurut Shiho, kesulitan ini menciptakan hubungan yang erat antar mahasiswa. Ada sebuah ‘perjuangan’ untuk memperoleh buku yang bagus dan menarik. Mereka juga biasanya saling betukar informasi, dan pinjam-minjam buku sudah menjadi kebiasaan.

Lain lagi di Jepang, mahasiswanya terlalu sibuk untuk sekedar berkumpul setelah perkuliahan usai. "Kebanyakan mahasiswa di Jepang memiliki pekerjaan, sehingga setelah kuliah langsung pulang, mereka tidak sempat berdiskusi apalagi berorganisasi," keluh wanita yang saat ini bertempat tinggal di Resonegaran, Yogyakarta.

Yang menarik bagi Shiho, pengajar asal Indonesia yang bekerja di Negeri Sakura terheran-heran melihat mahasiswa di Jepang yang super sibuk. Sebaliknya, Shiho pun kagum menyaksikan kekompakan mahasiswa di Indonesia.(bowo)

PEKA "Segarkan" Website UMK

JIKA Anda pernah mengunjungi website UMK (www.umk.ac.id), maka yang Anda temui adalah tampilan yang kaku, berita basi dan jarang ada informasi baru dari pihak kampus, lebih-lebih berita tentang kegiatan kemahasiswaan.

Menyadari hal ini, Unit Pelaksana Teknis Perancangan Sistem Informasi (UPT PSI) merangkul Unit Kegiatan Mahasiswa Jurnalistik (majalah PEKA), untuk terlibat dalam penyegaran berita yang akan ditampilkan di website UMK tersebut.

Menurut Basuki, ketua UPT PSI, pihaknya sengaja bekerjasama dengan PEKA. Alasannya, satu-satunya majalah kampus di UMK ini, memiliki sumber daya untuk melakukan update berita kampus terkini. "Sayang kalau Peka hanya dinikmati dalam bentuk majalah, lebih bagus lagi jika
Peka juga dapat dibaca di website UMK," tambahnya.

Dia mengatakan, kerjasama UPT PSI-PEKA dilatarbelakangi keprihatinan pihak rektorat mengenai tampilan website. "Saya usulkan untuk bekerjasama dengan Peka, dan Pak Rektor setuju," jelasnya.

Tampilan website UMK memang telah jadi perhatian serius dari pihak UPT-PSI. "Tampilan website selama ini memang terkesan kaku," ungkap Basuki. "Ini akan segera diubah, tentu saja dengan dukungan Peka dan civitas akademika lainnya," imbuhnya.

Pihaknya berharap, seluruh civitas akademika dapat mempublikasikan tulisan-tulisan, baik itu dalam bentuk opini mupun hasil penelitian ilmiahnya. "Menulis di dunia maya banyak manfaatnya," terang Basuki. "Hal ini dikarenakan tulisan tersebut dapat dibaca semua orang tanpa batasan ruang dan jarak," tambah alumni Fakultas Teknik Sistem Informasi UMK ini.

Hingga majalah PEKA ditebitkan, April 2008 , UPT PSI dan PEKA masih membicarakan teknis update berita tersebut. "Diharapkan mulai Maret, setelah urusan registrasi mahasiswa selesai, berita-berita kampus sudah bisa di update," jelas Basuki.

Diharapkan, website UMK akan lebih hidup dengan tampilan yang lebih menarik, berita-berita kampus terbaru dan tentunya tulisan-tulisan ilmiah dari civitas akademika. Terkait pengiriman artikel, semua pihak yang ingin mengirimkan artikel atau tulisannya dapat dikirim ke alamat majalah PEKA. (Annas)

Menuju Universitas Kebudayaan

Oleh: Sarjadi *)

UNIVERSITAS Kebudayaan (Cultural University), mungkin masih asing di telinga kita. Lebih-lebih apabila ini merupakan visi suatu perguruan tinggi. Visi biasanya ditulis dalam satu sampai tiga kalimat yang panjang, sedangkan yang pendek biasanya dipaparkan misalnya sebagai Universitas Riset (research university). Pemilihan visi sebagai Universitas Kebudayaan (UK) oleh UMK merupakan hasil analisa perkembangan pendidikan dan masyarakat di Indonesia tanpa melupakan faktor-faktor yang berperan di luar Indonesia.

Era globalisasi yang menuntut perguruan tinggi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berperan secara global merupakan salah satu acuannya. Kondisi di atas mau tidak mau telah menempatkan pendidikan di Indonesia (khususnya pendidikan tinggi) dalam posisi yang sangat dilematis. Masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society) yang mendominasi semua aspek kehidupan akan sangat mempengaruhi pola pendidikan di Indonesia.

Di samping itu, pengaruh globalisasi dalam bentuk (i) aliran manusia (ii) aliran informasi (iii) aliran teknologi baru (iv) alitan modal (v) aliran gagasan serta citra, telah pula menarik pola masyarakat ilmu pengetahuan kearah perkembangan tertentu sehingga menjadi tidak bebas kultur sebagai khas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menyongsong masa depan, perlu segera disiapkan generasi muda yang handal melalui proses pendidikan yang mampu mengahasilkan generasi muda dengan atribut kompetensi sesuai dengan tuntutan masyarakat, industri, usaha dan profesi, berikut dengan ciri khas kebudayaannya masing-masing.

Ciri Universitas Kebudayaan
Untuk dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang menjadikan Universitas Muria Kudus menjadi tempat pembelajaran dan suatu sumber daya pengetahuan, pusat kebudayaan, serta tempat pembelajaran terbuka untuk semua, maka dimasukkan strategi kebudayaan dalam pengembangan pendidikannya. Strategi kebudayaan tersebut terwujud:

1. Fenomena anthrophos dicakup dalam Pengembangan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan;

2. Fenomena tekne dicakup dalam penguasaan ilmu dan ketrampilan untuk mencapai derajat keahlian berkarya;

3. Fenomena oikos dicakup dalam kemampuan untuk memahami kaidah kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya;

4. Fenomena etnos, dicakup dalam pembentukan sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keahlian yang dikuasai.
Dalam satu rangkaian kalimat maka visi universitas kebudayaan merupakan cita-cita/ pandangan kedepan UMK untuk menghasilkan out comes pendidikannya berupa generasi muda yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, yang mempunyai kemampuan ilmu, ketrampilan, dan mampu berkehidupan bermasyarakat serta mempunyai sikap dan perilaku sesuai dengan kemampuannya.

Kaliamat di atas menunjukkan bahwa visi UMK tidak akan luntur ataupun aus oleh waktu. Di samping itu telah mencakup pula empat pilar pendidikan dari Unesco yaitu learning to know, learning to do, learning to live together (learning to live with others), learning to be, dimana ujungnya yaitu learning throughout life. Perubahan yang akan terjadi hanya dalam kaitannya dengan perkembangan ataupun cara untuk mencapai yang sesuai kondisi waktu itu.
Peningkatan Kualitas Berkelanjutan

Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa eksistensi perguruan tinggi sangat tergantung pada kualitas perguruan tinggi, lebih-lebih apabila kemudian dikaitkan dengan cita-cita "bertaraf internasional". Tumbuh kembangnya perguruan tinggi ditentukan oleh kualitas proses pendidikan, kualitas penelitian, kualitas pengabdian kepada masyarakat, kualitas organisasi (termasuk pendanaan, keterbukaan, keadilan), dan budaya akademik.

Semuanya akan bermuara pada seluruh sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang ada di PT. Dalam kaitannya dengan UK maka mau tidak mau akan terkait erat dengan peningkatan kualitas (kualitas ilmu, pikir dan emosional atau spiritual) yang berkelanjutan, sehingga semua daya, upaya, fikiran, dan dana terfokus pada program-program yang terkait dengan hal tersebut. Fakultas dan program studi pun harus berorientasi pada pencapaian UK dan

Peningkatan Kualitas Berkelanjutan Pengawalan Mutu UMK (termasuk di dalamnya Monevin). Badan ini setiap saat akan melaksanakan evaluasi pencapaian program setiap fakultas atau program studi untuk menilai apakah program yang direncanakan bisa dijalankan dan dipenuhi sesuai batasan yang telah ditetapkan.

Kegiatan yang telah dilaksanakan
Menyadari bahwa berbagai keterbatasan cukup banyak ditemukan di UMK, maka perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan yang berorientasi pada UK dan Kualitas memerlukan "pengenalan atau sosialisasi" pada seluruh civitas akademika di UMK.
Setelah visi dan misi disetujui oleh seluruh civitas akademika maka dilakukan penyesuaian berbagai peraturan yang ada termasuk statuta universitas. Kurikulum yang berorientasi pada isi, diganti dengan kurikulum yang berorientasi pada kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa.

Perubahan kurikulum ini meletakkan universitas bukan lagi sebagai pusat pengajaran akan tetapui sebagai pusat pembelajaran. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) berubah menjadi Rencana Program dan Kegiatan Pembalajaran Semester (RPKPS).
Dosen tidak lagi sebagai pengajar yang "mentransfer" ilmu (isi mata ajar) akan tetapi dosen sebagai facilitator, empowering dan enabling. Mahasiswa tidak hanya sekedar menerima ilmu dari dosen akan tetapi mahasiswalah yang membentuk ilmu itu dan menganalisa, melakukan diskusi dan mengemukakan pendapatnya.

Di sini mahasiswa berubah dari pasif menjadi aktif. Sistem penilaian tidak lagi bersumber pada hasil ujian tengah semester dan akhir semester, akan tetapi ditambah dari seluruh proses pendidikan, yang tidak hanya segi kognitif akan tetapi juga segi afektif dan psikomotor.
Sebagai akibat dari hal tersebut maka penyempurnaan sumber belajar dan fasilitas belajar dilakukan. Dari tahun 2005 hingga awal tahun 2007 telah berdiri Gedung Labotarium Terpadu Fakultas Hukum, Psikologi dan FKIP. Fasilitas proses pembelajaran telah pula meningkat. Dosen jumlahnya sedikit demi sedikit ditambah, pendidikan ditingkatkan dengan mengirim ke pendidikan S2 dan S3, serta kewenangannya ditingkatkan yang dicerminkan dari peningkatan jabatan fungsional dosen.

Perpustakaan sebagai pusat materi pembelajaran di pindah guna mendapatkan ruang yang lebih luas dan berada di depan-depan kampus, serta dilengkapi isinya.
Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi ditingkatkan dengan jalan membangun ulang sistem ini dengan program baru. Fasilitas internet telah tersedia walaupun masih sangat sederhana.

Dalam konteks spiritual (emosi) telah dilaksanakan kegiatan yang untuk mahasiswa baru yaitu orientasi ESQ dan kuantum training, sedang bagi dosen dan staf non edukatif yaitu seni menata hati dan ESQ.

Dampak dari perubahan tersebut telah mulai nampak yaitu suasana akademik telah mulai meningakt, IP mahasiswa cenderung meningkat dengan waktu penyelesaian yang cenderung berkurang. Pada beberapa program studi mulai nampak mahasiswa yang aktif tidak sekedar sebagai pendengar.

Dalam konteks administrasi akademik, telah terjadi peningkatan dari pencatatan kegiatan mahasiswa dan dosen, yang lebih teratur dan tertata.

Kegiatan-kegiatan di atas jelas telah menelan biaya yang sangat banyak yang tidak mungkin didapat dari uang yang dibayarkan oleh mahasiswa. Untuk itu telah dilakukan berbagai upaya untuk mendapatkan tambahan dana dari Pemda, Pemprov ataupun Depdiknas/Dikti, yang nilainya cukup besar.

Sebagai penutup, suasana kondusif di kalangan mahasiswa, dosen, staf non akademik yang merupakan salah satu syarat penting untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh UMK, apabila bisa selalu dijaga, maka diharapkan UMK dalam waktu yang tidak lama akan diakui keberadaannya yang sejajar dengan perguruan tinggi besar lainnya. Tahap berikutnya UMK bisa bicara di tingkat internasional. Semoga

*) Rektor UMK

Pilkada di Mata Pemula

Versi Mahasiswa dan Pelajar
Reporter: Tim PEKA

PROSES pemilihan kepala daerah (Pilkada) memang selalu menyita perhatian publik. Tokoh partai politik, akademisi, dan rakyat hanyut dalam proses demokrasi tersebut. Media pemberitaan sebagai pewarta juga selalu memantau perkembangan pesta demokrasi ini.

Dinamika dalam proses Pilkada di manapun, tak terkecuali di Kota Kudus, selalu menjadi bagian yang menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Berbagai forum diskusi serta seminar pun dihelat, yang mengusung tema-tema Pilkada. Seakan Pilkada menjadi sebuah konsumsi wajib diketahui segenap khalayak.

Bagaimana tidak, sebelum Pilkada digelar saja, tak sedikit gejolak yang terjadi. Saat itu, para calon bupati (cabup) atau Cagub mengumbar hajat dan janji untuk masyarakat. Jalinan komunikasi dengan rakyat mulai dibangun, lantaran ada unsur politis lain di hati para calon.

Keberadaan simbol-simbol Pilkada yang sarat ajakan, bertebaran di tepi-tepi jalan. Semisal, baliho di sudut perempatan, bentangan spanduk, tempelan stiker hingga sampai aksi pembagian souvenir secara cuma-cuma.

Dalam media tersebut, para kandidat dipastikan menyisipkan visi misi yang mereka bawa. Upaya demikian sebuah hal yang jamak dilakukan para kandidat agar dikenal calon pemilihnya.
Melalui pengenalan semacam ini, setidaknya calon pemilih (rakyat) tahu siapa sosok calon pemimpin di daerahnya. Bagaimana calon pemimpin itu menentukan arah dan tujuan dalam lima tahun ke depan. Menuju ke arah kemajuan ataukah sebaliknya, hal ini menjadi pertimbangan bagi calon pemilih.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Tim PEKA mencoba melakukan jajak pendapat terhadap 200 responden. Mereka dipilih dari golongan pemilih pemula yang berusia 17-19 tahun. Sistim poling ini menggunakan metode acak (random sampling) dengan melibatkan mahasiswa UMK dan pelajar sekolah.

Ditanya darimana mereka mendapatkan informasi tentang pilkada, sebanyak 52,50 persen responden mengaku mendapatkan informasi dari media massa. 38,75 persen responden mengaku mengetahui informasi pilkada dari poster dan pamphlet yang ditempel di tempat-tempat umum, Sedangkan 8,75 persen lainnya tahu dari teman sebaya atau sekolah.

Merujuk pada data tersebut, bisa diperkirakan, bahwa calon pemilih lebih dominan menyimak perkembangan Pilkada melalui media massa. Dirasa lebih efektif dan mudah ditemui di mana-mana. Di sisi lain, media memiliki daya jangkau yang lebih luas.

Saat ditanya tentang proses Pilkada, kebanyakan responden menjawab kurang tahu. Sebanyak 56,69 persen responden tidak mengetahui proses pilkada. Hanya 32,48 persen responden yang benar-benar mengetahui tentang proses Pilkada. Sisanya, 10,83 persen menyatakan tidak tahu.

Hal tersebut mencerminkan para pemilih pemula belum sepenuhnya mengerti apa itu Pilkada. Walau sudah mendapat informasi teantang pilkada dari berbagai media, para pemilih muda ini masih samar tentang pilkada.

Lalu, setujukah responden dengan sistem pemilihan secara langsung? Hampir seluruh responden (92,45 persen) menjawab setuju,. Sedangkan 3,77 persen responden menyatakan kurang setuju, dan hanya 3,77 persen lainnya menjawab tidak setuju.

Memilih calon pemimpin, rakyat tentunya tak asal coblos gambar. Butuh berbagai pertimbangan dan berpikir, tentang apa yang ditawarkan calon kepada pemilih. Semisal kesejahteraan bagi rakyat, hukum ditegakkan, pendidikan gratis dan lain sebagainya.

Lantas, berdasarkan faktor apa para pemilih memilih calon pemimpin, sebanyak 75,76 persen responden mengaku memilih calon pemimpin berdasarkan visi dan misi. Hanya 5,45 persen responden menentukan calonnya dengan pertimbangan wajah. Penilaian berdasar raut muka para kandidat merupakan angka terkecil dari opsi yang ditawarkan.

Menariknya, tercatat 18,79 persen responden memilih calon dengan melihat amplop yang mereka terima. Rupanya, istilah ‘amplop’ dalam proses pilkada cukup efektif menggiring calon pemilih. Terbukti dengan angka di atas, politik uang (money politic) masih saja membudaya dalam proses demokrasi ini.

Pemberian ‘amplop’ dalam pilkada bukan rahasia lagi, saat pemilu 2004 saja praktik demikian sudah jamak terjadi. Perhitungannya, barang siapa yang memberi jumlah yang paling besar, itulah yang mereka pilih. Memilih pemimpin dengan cara demikian, sebuah sikap apatisme dan paradigma masyarakat yang materialistik.

Lalu, seperti apa sosok pemimpin yang ideal? Ada beragam jawaban dari responden. Sebanyak 56,36 persen respondem memberikan jawaban dengan alasan anti korupsi. Atas alasan memilih sosok pemimpin yang tegas, sebanyak 38,18 persen responden menentukan pilihannya. Sisanya, hanya 5,46 persen memilih pemimpin yang rupawan.

Dapat diprediksi, koresponden yang menjawab anti korupsi adalah sebuah refleksi mereka lantaran korupsi kian merajalela. Tidak hanya di kalangan pejabat saja yang berkorupsi, tapi budaya ini sudah merambah pada lembaga-lembaga yang lain.

Melalui pilkada yang bersih dan jujur, diharapkan akan mendapat sosok pemimpin yang bisa menjadi pamong rakyat, bukan pangreh (penguasa,red). Yang senantiasa mengayomi dan melindungi, bukan menjajah dan menyengsarakan rakyatnya. Semoga! (*)

Mari Beradu "Seksi"

TINGGAL beberapa hari ke depan, tepatnya 12 April 2008, sebuah hajat besar bakal dihelat di Kudus, di sebuah kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Hajat yang didengungkan sebagai pesta demokrasi ini tak lain pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung.

Pilkada langsung yang baru kali pertama digelar ini, memang jauh berbeda dengan yang pernah diadakan lima tahun silam. Dimana kali ini rakyat yang telah mempunyai hak pilih, bisa memilih sendiri pasangan calon bupati dan wakil bupati pilihannya. Berbeda dengan proses pilkada yang digelar sebelumnya, seorang pemimpin daerah ditentukan oleh 45 anggota dewan.

Seperti daerah lain yang telah terlebih dahulu menggelar kegiatan politik ini, menghadapi proses Pilkada langsung ini, sejumlah tokoh partai dan masyarakat di Kudus mulai ‘bergerilya’ mencari dukungan. Berbagai manuver politik oleh partai atau perorangan, terlihat mulai marak sejak pertengahan 2007 lalu.

Berbagai ajang pertemuan pun digelar untuk meraih dukungan yang dilakukan para calon. Dari ruang-ruang lesehan di warung kaki lima, rumah makan hingga hotel menjadi saksi bisu kegiatan ini.

Tidak jauh berbeda yang dilakukan sejumlah partai politik (parpol). Berbagai konsolidasi dilakukan mulai tingkat ranting hingga pucuk pimpinan parpol yang berada di Ibu Kota. Kesemuanya dilakukan untuk dapat menjaring calon pemimpin di Kudus lima tahun ke depan.
Terhitung ada belasan bakal calon bupati yang sempat menjadi bahan pembicaraan masyarakat, hingga tertayang di berbagai media massa lokal. Ada yang berlatar belakang pengusaha sukses, petinggi parpol, mantan pejabat, pejabat aktif, dan beragam latar belakang profesi lainnya berkeinginan duduk sebagai orang nomor satu di Kudus.

Pada saat yang sama, ratusan baliho berukuran kecil hingga raksasa yang memajang gambar para calon itu pun terpampang di berbagai sudut jalan. Demikian pula poster hingga stiker bertebaran di tembok-tembok kota (mengotori tentunya).

Dari berbagai proses yang dilakukan, kini tinggal tersisa empat pasang calon bupati dan wakil bupati yang dipastikan bakal tampil ke ajang Pilkada. Ke empat pasang calon inilah tentunya berharap menjadi yang paling unggul.

Seberapa jauh kehandalan ke empat pasang calon ini menggaet pendukung, tentunya masih harus dibuktikan di ajang kampanye yang telah dijadwalkan KPUD Kudus. Disamping yang pasti, seberapa dahsyat tim sukses masing-masing calon dalam menggalang dukungan.

Dalam perhelatan semacam ini, tak mudah memang menggaet dukungan mayoritas dari masyarakat/pemilih. Banyak faktor yang menjadi penentu, berhasil tidaknya pasangan calon mendulang dukungan. Apa dan bagaimana kondisi masyarakat juga menjadi sebuah faktor yang menentukan.

Demikian pula kualitas para calon menjadi garansi paling tinggi, apakah mereka benar-benar dapat meyakinkan masyarakat menjadi pemimpin yang diinginkan di Kudus. Dan tentunya, jangan dikira masyarakat di Kota Kretek ini dapat dibodohi, karena sedikit banyak mereka tahu kapasitas para calon tersebut.

Sebagai ilustrasi, Pilkada di Jepara dan Pati tahun 2007 lalu, justru mayoritas pemilihnya tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), atau lebih bersikap apatis dengan kegiatan tersebut. Alhasil, jumlah golput di dua daerah tersebut mencapai antara 40 hingga 45 persen.
Pendeknya, saat inilah para calon tersebut harus beradu paling ‘seksi’ untuk bisa memikat rakyat, sehingga memilihnya sebagai pemimpin Kota Kretek ini. Nah, untuk mencapainya, tentu dibutuhkan ‘tarian erotis’ sehingga masyarakat yang punya hak pilih tak segan-segan menjatuhkan pilihannya. Maka, mari beradu paling ‘seksi’!!!
(Anas Priyanto)

Rabu, 02 April 2008

Sejarah Berugenjang

Desa Berugenjang merupakan desa baru di Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus. Setelah melalui proses yang panjang, desa ini akhirnya memiliki kepala desa yang secara resmi dilantik pada bulan November 2005 lalu.

Sejarah berdirinya Berugenjang sebagai sebuah desa baru, berawal ketika warga di kedua dukuh (Beru dan Genjang) memilih untuk memisahkan diri dari Desa Lambangan. Hal ini dilatar belakangi ketidakpuasan warga di kedua dukuh tersebut atas pengelolaan aset desa. Menurut Supar, Kepala Desa Berugenjang, hanya sedikit alokasi dana untuk kedua dukuh tersebut.

Adanya ketimpangan pembagian alokasi dana, berbanding terbalik dengan potensi yang dimilki kedua dukuh tersebut. Karena itulah, warga memilih untukmemperjuangkan haknya dengan mendirikan desa sendiri, terpisah dari lambangan.

Tentu saja hal ini mendapat respon dari warga dan aparat desa Lambangan. Banyak dari mereka yang tidak rela melepas kedua dukuh tersebut.

Sebuah proses panjang dilalui warga dukuh Beru dan Genjang untuk menyiapkan wilayahnya menjadi sebuah desa. Lobi dengan anggota dewan hingga melakukan aksi ujuk rasa pun digelar demi suksesi tersebut.

Tak sedikit dana yang mereka keluarkan. Dari pengakuan supar, hamper 400 juta lebih telah mereka keluarkan. Dana sebanyak ini mereka gunakan untuk membiayai berbagai hal, antara lain membiayai kegiatan unjuk rasa, akomodasi wakil mereka hingga memberi “bingkisan” kepada anggota dewan.

Puncaknya, sempat terjadi tawuran masal yang melibatkan warga Desa Lambangan dengan warga Beru dan Genjang. Ini terjadi manakala kedua belah pihak bertemu dalam unjuk rasa di Halaman DPRD Kudus pada medio 2004. Korban jiwapun tak terelakan dikedua belah pihak.

Setelah melalui proses yang menyita banyak tenaga, pikiran dan biaya bahkan nyawa tersebut, pada Juli 2004 diangkatlah Supar sebagai pejabat sementara (pjs) desa Berugenjang.

Ini sebagai hasil dari pertemuan kedua belah pihak yang difasilitasi Bupati Kudus, Tamsil. Saat itu, ia mendesak kedua belah pihak untuk menghentikan segala tidakan anarkis dan segera mencari titik temu, atas masalah yang mereka hadapi.

Dari hasil dari pertemuan satu malam tersebut, kemudian ditindaklanjuti sebuah proses pembentukan Desa Berugenjang, dengan mengangkat Supar, sebagai Pejabat sementara.

Setelah diangkat sebgai PJS, masalah tak lantas berhenti. Supar mengaku jika pihaknya merasa diabaikan haknya. Baru setelah bulan September 2005, ia diangkat menjadi pejabat desa definitif. Selama proses tersebut, banyak pihak-pihak intern desa Berugenjang yang menginginkan kekuasan desa, ini menjadi halangan tersendiri bagi mereka. Hingga Akhirnya, pada bulan November 2005, Supar diangkat menjadi Kepala Desa Berugenjang secara resmi.

Selasa, 01 April 2008

Menikmati Pecel Lereng Muria

Reporter: Saiful Annas dan Teguh Budi Utomo.

Jika anda sedang berada di kawasan wisata Colo Gunung Muria, Sempatkanlah untuk mencicipi nikmatnya pecel pakis. Sekilas, pecel ini tak jauh beda dengan pecel yang lain. Terdiri dari sayuran yang disiram dengan bumbu kacang, ditambah irisan mentimun.

Namun, jika anda perhatikan betul, sayur yang digunakan bukanlah bayam, kacang panjang atau sayuran yang jamak dijumpai pada makanan kaya serat ini. sayuran yang digunakan adalah daun pakis dan tauge (kecambah).

Memasak daun pakis sehingga menjadi santapan yang enak dimakan bukanalah perkara yang mudah. Menurut Sulyati, pemilik warung Mbok Yanah, seringkali banyak orang yang heran, bagaimana cara menghilangkan rasa gatal pada daun tersebut, belum lagi, daun akan berubah warna menjadi kehitaman jika terlalu lama disimpan.

Daun pakis yang dipakai dalam masakan ini merupakan jenis pakis sayur (Diplazium Esculentum Swartz). Sementara orang juga banyak yang menyebut dengan paku sayur atau juga paku tanjung.

Bentuknya mirip tanaman paku-pakuan, dengan daun sejajar kiri dan kanan, berbentuk memanjang. Tanaman ini mudah tumbuh, baik di media pot atau bahkan di tanah biasa. Tinggi tanaman ini tak lebih dari 50 sentimeter dan biasanya tumbuh berkelompok, khas tanaman paku-pakuan.

Keterampilan memasak daun pakis diperoleh Sulyati dari ibunya, Yanah, nama tersebut kemudian dipakai menjadi nama warung miliknya hingga sekarang. Ia merupakan generasi ketiga yang mengelola warung tersebut. “Ketrampilan memasak pakis diturunkan oleh mbah (nenek,red) saya,” terangnya.

Kegiatan memasak daun pakis dimulai dengan proses merebus daun tersebut. Ia menuturkan, memasak daun pakis tidak boleh terlalu matang. setelah itu, daun ditiriskan. Disinilah rahasianya, daun pakis yang telah ditiriskan tadi kemudian disiram dengan air matang dengan suhu normal.

Setelah berkali-kali disairam dengan air (hingga suhu daun pakis turun), kemudian barulah daun tersebut siap untuk dihidangkan. Soal bumbu kacang yang digunakan, Sulyati mengatakan tak ada perbedaan dengan bumbu pecel yang lain. “Biasa saja, bahan bumbu terdiri dari lombok, bawang merah dan putih, ditambah dengan jeruk wangi,” jelasnya.

Warisan Kuliner dari Keraton Solo

Cerita pecel pakis hingga menjadi salah satu panganan khas Colo, berawal dari seorang Aminah, yang kala itu menjadi abdi dalem Keraton Solo. Aminah yang merupakan nenek Sulyati, menjadi juru masak untuk keluarga keraton. Tak jelas kapan dia menjadi abdi dalem, Sulyati hanya menyebutkan kira-kira pada tahun 50-an.

Di Keraton Surakarta tersebut, Aminah memiliki spesialisasi untuk membuat pecel. Tak sembarang pecel, sayuran yang dipakaipun tak lazim, yaitu daun pakis. Keluarga keraton saat itu sangat menggemari masakan Aminah.

Tak puas menjadi chef keluarga keraton, ia pun memilih pulang kampong ke Kota Kretek Kudus. Di rumah, ia menularkan ilmunya kepada Yanah, anak Aminah.

Setelah menikah dan menetap di Colo, Yanah kemudian membuka warung makan dengan menu spesial pecel pakis. Perkembangan warungnya biasa-biasa saja pada awalnya.

Kemudian setelah Colo dibuka menjadi kawasan wisata pada tahun 70-an, warungnya mulai dikenal orang. Terlebih, banyak pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus, sering mengadakan kegiatan di Pesanggrahan Colo (Sekarang Graha Muria,red). Mereka kemudian meminta Yanah untuk menyediakan makanan bagi tamu-tamu tersebut.

Tak berpikir panjang, Yanah kemudian membuat menu masakan dari warisan ibunya tersebut sebagai menu utama. Tak dinyana, para tamu menyukai hidangan tersebut. Pecel Pakisnya pun lambat laun mulai dikenal.

Tak jarang pengunjung yang penah mencicipi makanan tersebut, kemudian menjadi ketagihan dan kemudian memesannya tatkala sedang mempunyai acara di kawasan wisata di lereng timur Gunung Muria tersebut. Seiring perkembangan waktu, Yanah kemudian meminta anaknya, Sulyati, untuk meneruskan usahanya tersebut.

Tak hanya menerima pesanan, pada tahun 1974, Sulyati kemudian membuka warung yang lebih besar dari sebelumnya. Hingga sekarang, warung tersebut beralamat di Jalan Pesanggrahan 193 Colo, berada sekitar 50 meter di seberang bawah Graha Muria Colo.

Menu yang disediakan sekarang pun tak hanya sebatas pecel pakis saja. Sebagai pelengkapnya, Sulyati menyediakan ayam goreng dan ayam bakar yang tentunya dengan racikan bumbu yang khas.

Soal harga pun sangat “bersahabat”, kita cukup membayar 3 ribu rupiah untuk satu porsi pecel pakis. Namun, jika ingin menikmati pecel dengan ayam bakar atau goreng dengan segelas teh manis hangat, kita cukup mengeluarkan uang 7 ribu rupiah saja.

Tak ada salahnya, setelah khusyuk berdo’a di Makam Sunan Muria, menikmati segarnya air terjun Montel dan puas berbelanja oleh-oleh, kita kemudian mampir dan menikmati lezatnya pecel pakis khas Colo, menu warisan dari keraton Solo.