Senin, 07 April 2008

Menguak Misteri Sumur Tulak

Reporter: Abdul Rochim

SAMBIL membawa sebuah ceret, puluhan warga terlihat berduyun-duyun menuju sebuah bangunan kecil kusam, pada petang hari Rabu, (23/1) atau 15 Muharram dalam kalender Hijriyah. Warga Desa Krapyak dan sekitarnya ini terlihat sangat antusias menuju bangunan yang temboknya berlumut. Apa yang mereka lakukan?

Tujuan warga tak lain ke sebuah bangunan yang di sisi dindingnya tertulis Sumur Tulak (ST) yang bersilangan dengan kata Punden. Sedang diatasnya lagi tertulis angka 1800/ (huruf berikutnya tertutup kayu), lalu tertulis lagi tahun 1964 yang kabur, tak jelas. Mungkin oleh penulisnya ingin dijadikan tanda didirikannya punden tersebut.

Jika dilihat gaya arsitekturnya, bangunan ini memang mirip dengan rumah pada tahun 60-an. Ventilasi persegi berjajar menghias bagian atas bangunan. Atapnya bermodel meniru bangunan arsitektur Belanda pada kebanyakan. Empat pilar kokoh yang menyangga dan pintu yang bersirkulasi semakin menambah kesan antik.

Kedatangan warga ke bangunan yang hanya berukuran 6 x 8 meter persegi ini, tak lain ingin memperoleh air Sumur Tulak. Lantaran yang datang cukup banyak, tentu saja bangunan kecil ini tak mampu lagi menampung jumlah warga terus berdatangan. Bahkan semakin petang warga semakin banyak yang datang dan tentu saja mereka harus berdesakan.

Hilir mudik warga yang akan dan telah mengambil ini bukan merupakan pemandangan yang asing pada hari itu. Mereka yang menyempatkan mengambil air, datang dari berbagai kalangan. Ada kalangan awam, bersarung, mahasiswa, peneliti, juga wartawan. Semua juga ingin mendapatkan segayung air yang konon mengandung keberkahan.

Lalu dari mana sumber air ini berasal? Di dalam bangunan ini tak lain terdapat sebuah sumur kecil berdiameter kurang lebih 1 meter, dengan kedalaman 2,5 meter. Uniknya, permukaan air tak surut walau airnya telah diambil dan dibagikan pada ratusan warga Krapyak dan sekitarnya. Atau bahkan warga Kudus sekalipun. Anehnya, ketika air sumur diambil, air yang keluar jadi lebih cepat.

Inilah Sumur Tulak, di mana masyarakat berebut untuk mendapatkan air yang diyakini bertuah tersebut. Sumur fenomenal di mana orang-orang merasa ikut memiliki dan memasukkan di hati sanubari terdalam mereka sebagai sebuah peninggalan kearifan budaya.

Air Sumur Tulak ini memang bukan air biasa. Mereka memercayai air itu mengandung keberkahan. Tanpa dimasak pun air sudah dapat diminum. "Malah kalau dimasak justru akan menghilangkan keberkahan air itu sendiri," ungkap Sya'roni, pria yang dipercaya menjadi kuncen (juru kunci) sejak 10 tahun lalu.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, air Sumur Tulak biasa dijadikan sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu. "Terserah apa yang diharapkan, dan yang paling penting air ini hanya sebagai media," jelas Muslim, kuncen yang lain. "Yang mengabulkan segala permintaan hanya Allah SWT," lanjutnya.

Rupanya, ketenaran sumur ini tak hanya di lokasi itu saja. Lebih dari itu, Sumur Tulak ini juga dikenal di kota lain di Indonesia. Bahkan menurut penuturan Sya’roni yang tinggal tak jauh dari ST, ia pernah didatangi seorang Habib (trah Nabi Muhammad) dari negeri Kincir Angin bermaksud mengambil air itu. Ini menandakan, sumur ini sudah dikenal di belahan dunia lain. Demikian pula, ada warga Kediri yang secara rutin setiap tahun berkunjung kemari hanya untuk mengambil air sumur itu.

Menelusuri Jejak Sumur Tulak
Awal mula adanya sumur ini tak bisa dilepaskan dari sebuah perjalanan sejarah Kota Kudus. Dari sebuah daerah yang dipenuhi umat Hindu menjadi sebuah daerah yang penuh nuansa ke-Islaman. Sebuah daerah yang bercorak Qur’ani, hingga kota ini juga dijuluki kota santri dan berani mentasbihkan diri sebagai pusatnya Al Qur’an. Hal ini, ditandai dengan berdirinya Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an.

Sementara transformasi religi ini tak lepas dari peran tokoh besar, Syekh Ja’far As-Shadiq atau lebih dikenal Sunan Kudus, yang datang membawa ajaran-ajaran Islam. Ajaran Islam yang dibawanya disebarkan secara halus, damai dan melalui diplomasi yang cantik. Sementara Te Ling Sing, seorang tokoh yang menjadi panutan pada zaman itu, sampai terkagum-kagum akan keindahan cara Sunan Kudus menyebarkan ajaran Islam.

Pesatnya pertumbuhan agama Islam (1600 M) di Kudus membuat Raja Majapahit gerah. Ia khawatir akan daerah yang dulu dihuni ummat Hindu sekarang telah beralih menjadi hunian ummat Islam. Dan lagi, semakin banyak pengikutnya beralih dengan memeluk agama Islam.

Raja Brawijaya pun geram. Ribuan bala tentara kerajaan Majapahit dikerahkan untuk menggempur kerajaan Islam di Kudus. Sunan Kudus sebagai orang yang waskita, ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum datang peristiwa, red) juga memberi kepercayaan kepada punggawa yang bernama Sayyid Abdurrahman bin Muhammad untuk menjaga rayon utara kerajaan Islam Kudus.

Namun karena mulai dihinggapi letih, sang punggawa pun terkantuk dan tertidur dengan menancapkan tongkat sesaat sebelumnya. Aneh bin ajaib ribuan pasukan Majapahit hanya bengong manakala melihat pelangi yang indah (dari tongkat Sayyid Abdurrahaman) sesampainya di rayon bagian utara di mana sang punggawa tertidur.

Mengetahui hal itu, Sunan Kudus membuatkan masakan (nasi putih, janganan, sambal, dan ikan bethik dan lele goreng) untuk menjamu ribuan pasukan Majapahit. Karena makan sambal, pasukan-pasukan itu kepedesan. Oleh Sunan Kudus, tongkat yang tadinya tertancap, dimasukkan lebih dalam lagi ke tanah. Sehingga dari situ keluar air putih, pasukan-pasukan itu baru bisa meneguk minum. Anehnya lagi, tulang dari ikan tadi berubah lagi menjadi ikan dan hidup.

Ketakjuban pasukan-pasukan Majapahit kian menjadi-jadi. Hingga mereka berebut air yang menurut anggapan mereka ajaib itu. "Aina Sayyid Abdurrahman, ‘ajjillana," teriak Sunan Kudus membangunkan Sayyid Abdurrahman. "Jogo jo nganti leno," tutur beliau. Jo leno yang kemudian dijadikan sebagai nama Jawa, Sayyid Abdurrahman. Jo leno juga dijadikan peribahasa
Jawa penuh makna.

Karena takjub, pasukan-pasukan itu lalu digiring ke masjid dan dibujuk Sunan Kudus untuk menganut ajaran agama Islam. Lalu kemana Sayyid Abdurrahman? Konon seusai pasukan-pasukan Majapahit itu digiring ke masjid, Sayyid Abdurrahman atau lebih dikenal Mbah Joleno ini pulang melalui sumur tadi ke Hadramaut Yaman memenuhi panggilan Sang Ayah yang sedang sakit keras.

Hingga kini air Sumur Tulak itu masih diperebutkan oleh banyak orang-orang yang ngelak (haus, red) seperti pada zamannya diperebutkan tentara-tentara Majapahit. Sebab, tulak, akronimnya adalah tombo ngelak.

Tanggal 15 Muharram lalu, adalah potret yang sama persis dengan apa yang terjadi empat abad silam. Sekarang ini sebelum warga diperbolehkan mengambil air, didahului dengan prosesi khataman dan tahlilan (membaca kitab suci Al Qur’an sampai habis dan membaca tahlil, red).

Malam harinya juga diadakan khataman Al Qur’an bil ghaib oleh santri-santri dari Ponpes Yanbu’ul Qur’an dan dilanjutkan dengan pengajian. "Peserta pengajian berjumlah ribuan karena kami menyediakan 1.500 bungkus nasi, hampir habis dibagi-bagikan kepada peserta pengajian," terang Sya’roni yang juga alumnus Madrasah Qudsiyah ini.

Sumur Tulak, tak hanya menjadi kekayaan budaya semata. Namun babad cerita yang disampaikan secara getok tular (mulut ke mulut, red) ini juga sarat dengan nilai-nilai yang dapat di petik dan dimanifestasikan pada kehidupan sekarang ini yang bias nilai. (*)

Tidak ada komentar: